Jumat, 17 Agustus 2018
Dr. Mardiana Ahmad: ETIKA KEBIDANAN
Dr. Mardiana Ahmad: ETIKA KEBIDANAN: BAB III ETIKA KEBIDANAN A. Konsep Dasar Etika Kebidanan B. Panduan Etika Kebidanan Panduan etika kebidanan mengacu pad...
HUKUM KESEHATAN
BAB
IV
HUKUM
KESEHATAN
A. Latar
Belakang
Lahirnya hukum kesehatan tidak dapat
dipisahkan dengan proses perkembangan kesehatan sangat diperlukan bagi
permasalahan hukum kesehatan. Upaya tersebut tidak dapat dipisahkan dari
tingkat dan pola berfikir masyarakat tentang proses terjadinya karena setiap
upaya penanggulangan penyakit selalu berdasarkan pada pola berfikir tersebut.
Perkembangan
hukum kesehatan baru dimulai pada tahun 1967, yakni dengan diselenggarakannya “World Congress on Medical Law” di Belgia
tahun 1967. Di Indonesia, perkembangan hukum kesehatan dimulai dengan
terbentuknya kelompok studi untuk Hukum Kedokteran FK-UI dan Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo di Jakarta tahun 1982. Kelompok studi hukum kedokteran ini
akhirnya pada tahun 1983 berkembang menjadi Himpunan Hukum Kesehatan Indonesia
(PERHUKI). (Notoatmodjo, Soekidjo. 2010)
Dalam perjalannya,
hukum berkembang lebih lamban jika dibandingkan dengan kemajuan dunia
kedokteran dan tuntutan masyarakat. Misalnya, jauh sebelum undang-undang
euthanasia diberlakukan, kasus pelepasan respirator di rumah sakit banyak
terjadi sebelum diperoleh kejelasan mengenai kedudukan hukumnya; praktik
inseminasi buatan dan bayi tabung sudah
dijalankan sebelum disusun undang-undang yang mengatur masalah tersebut.
Lahirnya
hukum kesehatan tidak berarti menghapus
atau meniadakan norma etika. Dalam pelaksanaanya, norma etika menghadapi
berbagai problematika akibat sifatnya yang terlalu umum sehingga mengakibatkan
penafsiran yang beraneka ragam. Meskipun demikian, keberadaan norma etika tetap
di butuhkan.
Kesehatan
merupakan hak asasi manusia, artinya setiap orang mempunyai hak yang sama dalam
memperoleh akses pelayanan kesehatan. Sehingga diperlukan adanya suatu regulasi
yang dapat menjamin semua warga masyarakat untuk memperoleh haknya
tersebut.Sehingga lahirnya hukum kesehatan merupakan jawaban dari tantangan
tersebut.(Farlen Kanter; 2016)
B. Sistem
Kesehatan Nasional
Landasan
dan prinsip dasar sistem kesehatan nasional. Sistem Kesehatan Nasional
merupakan wujud dan metode penyelenggaraan pembangunan kesehatan dan merupakan
bagian dari pembangunan nasional. Dengan demikian, landasan SKN sama dengan
landasan pembangunan nasional. Liandasan teresebut meliputi:
1. Landasan
ideology adalah Pancasila
2. Landasan
konstitusional, yaitu UUD 1945, khususnya :
a. Pasal
28 A: setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya.
b. Pasal
28 B, ayat 2 : Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang.
c. Pasal
28 C, ayat 1 : Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan
kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan manfaat dan ilmu
teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnyaa dan
kesejahteraan hidup umat manusia.
d. Pasal
38 H, ayat 1 : Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan memdapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan; dan ayat
3 : Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan
dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
e. Pasal
34, ayat 2: Negara mengembangkan system jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan
masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan, dan
ayat 3: Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan
dan fasilitas pelayanan umum yang layak. (Ta’adi; 2012)
Prinsip dasar SKN adalah norma, nilai, dan
aturan pokok yang bersumber dari
falsafah dan budaya bangsa Indonesia, yang digunakan sebagai acuan berfikir dan
bertindak dalam penyelenggaraan SKN. Prinsip dasar tersebut meliputi:
1. Perikemanusiaan.
2. Hak
asasi manusia.
3. Adil
dan merata.
4. Pemberdayaan
dan kemandirian masyarakat.
5. Kemitraan
6. Pengutamaan
dan manfaat.
7. Tata
pemerintahan yang baik. (Ta’adi; 2012)
C.
Definis
Hukum Kesehatan
Hukum
kesehatan meliputi semua ketentuan hukum yang langsung berhubungan dengan
pemeliharaan kesehatan dan penerapan dari hukum perdata, perdana, dan hukum
administrative dalam hubungan tersebut. (Rismalinda, 2011)
Hukum ialah himpunan peraturan yang
bersifat memaksa, berisi perintah, larangan, atau izin untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu guna mengatur tata tertib masyarakat. (Setiawan. 2010)
Kesehatan menurut WHO, adalah
keadaan yang meliputi kesehatan badan, jiwa dan sosial, bukan hanya keadaan
bebas dari penyakit, cacat dan kelemahan. (Heryani, Reni. 2013)
Sehingga, Hukum kesehatan adalah
peraturan perundang-undangan yang menyangkut pelayanan kesehatan (merupakan
ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan dan pelayanan
kesehatan). (Triwibowo, Cecep. 2014)
Secara
khusus, Menurut Leenen hukum kesehatan adalah semua ketentuan hukum yang
langsung berhubungan dengan pemeliharaan kesehatan dan penerapan dari hukum
perdata, hukum pidana, dan hukum administrasi dalam hubungan tersebut. (Indar.
2009)
Menurut
pasal 1 Anggaran Dasar Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia (Perhuki), hukum
kesehatan adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan
pemeliharaan/pelayanan kesehatan dan penerapannya serta hak dan kewajiban baik
dari perorangan dan segenap lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan
kesehatan maupun dari pihak penyelenggara pelayanan kesehatan. (Hendrik.2011)
D.
Fungsi,
Ruang Lingkup dan Sumber Hukum Kesehatan
Fungsi hukum kesehatan
a.
Menjaga
ketertiban didalam masyarakat
b. Menyelesaikan
sengketa yang timbul di dalam masyarakat (khususnya di bidang kesehatan)
c.
Merekayasa
masyarakat (sosial angineering)
(Heryani, Reni. 2013)
Ruang
lingkup
Ruang lingkup
hukum kesehatan meliputi penyusunan
peraturan perundang-undangan, pelayanan advokasi hukum, dan peningkatan
kesadaran hukum di kalangan masyarkat. (Ta’adi; 2013)
Sumber
Hukum
Sumber hukum
kesehatan tidak hanya bertumpu pada hukum tertulis (undang-undang), namun juga
pada jurisprudensi, traktat, consensus, dan pendapat ahli hukum serta ahli
kedokteran ( termaksud doktrin) . (Ta’adi; 2013)
E.
Perbedaan
hukum dan etika
Hukum
adalah kumpulan peraturan yang berisi kaidah-kaidah hukum.Sedangkan etika
adalah kumpulan peraturan yang berisi kaidah-kaidah non hukum, yaitu tingkah
laku. (Sujiyatini & Dewi, Nilda Synthia. 2011)Berkaitan dengan hal tersebut
Sastrowijoto (2010) dalam Triwijoyo Cecep tahun 2014 menyatakan perbedaan etika
dengan hukum yaitu:
1.
Etika
berlaku untuk lingkungan profesi, hukum berlaku untuk umum
2. Etika
disusun berdasarkan kesepakatan anggota profesi, hukum disusun oleh badan
pemerintahan.
3. Etika
tidak seluruhnya tertulis, hukum tercantum secara rerinci dalam Kitab
Undang-Undang dan lembaran/berita negara
4. Pelanggaran
etika diselesaikan oleh organisasi profesi, pelanggaran hukum diselesaikan
melalui pengadilan
5. Penyelesaian
pelanggaran etika tidak selalu diserta dengan bukti fisik, sedangkan hukum
selalu disertai bukti fisik.
(Sujiyatini
& Dewi, Nilda Synthia. 2011)
F.
Perundang-Undangan
dan Hukum dalam Pelayanan Kesehatan
Hukum
kesehatan dapat dikelompokan menjadi empat kelompok yaitu
1.
Hukum
kesehatan yang terkait langsung dengan pelayanan kesehatan
1. Undang-undang
kesehatan diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009,
yang terdiri dari 22 bab dan 205 pasal, undang-undang ini merupakan revisi dari
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992, berikut penjelasannya;
a.
BAB
I KETENTUAN UMUM, terdiri dari 1 pasal
b.
BAB
II ASAS DAN TUJUAN, terdiri dari 2 pasal
c.
BAB
III HAK DAN KEWAJIBAN, terdiri dari 10 pasal
d.
BAB
IV TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH, terdiri
dari 7 pasal
e.
BAB
V SUMBER DAYA DI BIDANG KESEHATAN, terdiri dari 25 pasal
f.
BAB
VI UPAYA KESEHATAN , terdiri dari 80 pasal
g. BAB
VII KESEHATAN IBU, BAYI, ANAK, REMAJA, LANJUT USIA, DAN PENYANDANG CACAT,
terdiri dari 15 pasal
h.
BAB
VIII GIZI, terdiri dari 3 pasal
i.
BAB
IX KESEHATAN JIWA, terdiri dari 8 pasal
j.
BAB
X PENYAKIT MENULAR DAN TIDAK MENULAR, terdiri dari 10 pasal
k.
BAB
XI KESEHATAN LINGKUNGAN, terdiri dari 2 pasal
l.
BAB
XII KESEHATAN KERJA, terdiri dari 3 pasal
m.
BAB
XIII PENGELOLAAN KESEHATAN, terdiri dari 1 pasal
n.
BAB
XIV INFORMASI KESEHATAN, terdiri dari 2 pasal
o.
BAB
XV PEMBIAYAAN KESEHATAN, terdiri dari 4 pasal
p.
BAB
XVI PERAN SERTA MASYARAKAT, terdiri dari 1 pasal
q.
BAB
XVII BADAN PERTIMBANGAN KESEHATAN, terdiri dari 3 pasal
r.
BAB
XVIII PEMBINAAN DAN PENGAWASAN, terdiri dari 11 pasal
s.
BAB
XIX PENYIDIKAN, terdiri dari 1 pasal
t.
BAB
XX KETENTUAN PIDANA, terdiri dari 12 pasal
u.
BAB
XXI KETENTUAN PERALIHAN, terdiri dari 2 pasal
v.
BAB
XXII KETENTUAN PENUTUP, terdiri dari 2
pasal. (Anonim; 2009)
2. Berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (5) Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan perlu mengatur Izin dan Penyelenggaraan
Praktik Bidan dan dalam rangka menyelaraskan kewenangan bidan dengan tugas
pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan yang merata, perlu
merevisi Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02/Menkes/149/I/2010 tentang
Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan, sehingga berdasarkan pertimbangan
tersebut perlu menetapkan kembali Peraturan Menteri Kesehatan tentang Izin dan
Penyelenggaraan Praktik Bidan dalam;
”Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1464/MENKES/PER/X/2010 tentang Izin dan
Penyelenggaraan Praktik Bidan”
Dalam permenkes tersebut terdiri atas
7 bab dan di dalamnya terdapat 30 pasal yang mengatur tentang peizinan,
penyelenggaraan praktik, tugas dan wewenang bidan, serta pencatatan dan
pelaporan. (Anonim; 2014)
3. Undang-undang
lain yang berkaitan dengan kesehatan yakni ;
a. Undang-undang
Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan. (Clifford Andika Onibala; 2015)
b. Undang-undang
Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. (Bahriah; 2014)
c. Undang-undang
Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran. (Garry Chandra Setiawan; 2013)
d. UU No. 23/1992 tentang kesehatan
yang telah diubah menjadi UU No. 36/2009 tentang kesehatan
e. Permenkes 161/2010 tentang uji
kompetensi
2.
Hukum
kesehatan yang tidak secara langsung terkait dengan pelayanan kesehatan yaitu:
a. Hukum
pidana, pasal-pasal hukum pidana yang terkait dengan pelayanan keshatan
misalnya pasal 359 KUHP
b. Hukum
perdata, pasal-pasal hukum perdata yang terkait dengan pelayann kesehatan
misalnya 1365 KUHPerd.
c. Hukum
administrasi, ketentuan penyelenggaraan pelayanan kesehatan baik yang dilakukan
oleh tenaga kesehatan maupun oleh sarana kesehatan yang melanggar hukum
administrasi.
3.
Hukum
kesehatan yang berlaku secara internasional
a.
Konvensi
Hukum dasar yang tidak tertulis adalah
aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara.
b.
Yurisprudensi
Keputusan
hakim yang diikuti oleh para hakim dalam menghadapi kasus yang sama.
c.
Hukum
kebiasaan
Biasanya
tidak tertulis dan tidak dijumpai dalam peraturan perundang-undangan. Kebiasaan
tertentu telah dilakukan dan pada setiap operasi akan dilakukan di rumah sakit
harus menandatangani izin operasi, kebiasaan ini kemudian dituangkan ke dalam
peraturan tertulis dalam bentuk informed consent.
4.
Hukum
otonom
a.
Perda
tentang kesehatan, contohnya :
1. Perda
Kabupaten Bangka Belitung No. 4 tahun 2015 tentang perizinan bidang kesehatan.
2. Peraturan
daerah Kota Benkulu No.1 tahun 2011 tentang pelayanan kesehatan di kota
Bengkulu.
b.
Kode
etik profesi kebidanan
(Sausan, Putri. 2015)
5.
Undang-undang
yang mengatur tentang penelitian dalam kesehatan, yakni pada PP39/1995:
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Bab I Ketentuan umum
Pasal
1
Dalam
peraturan pemerintah ini, yang dimaksud dengan :
1. Penelitian
dan pengembangan kesehatan adalah kegiatan ilmiah yang dilakukan menurut metode
yang sistematik untuk menentukan informasi ilmiah dan/atau teknologi yang baru,
membuktikan kebenaran atau ketidak benaran hipotesis sehingga dapat dirumuskan
teori suatu proses gejala alam dan/atau sosial dibidang kesehatan, dan
dilanjutkan dengan menguji penerapannya untuk tujuan praktis dibidang
kesehatan.
2. Penyelenggara
peneliti dan pengembangan kesehatan adalah setiap peneliti, lembaga atau
badan hukum baik
milik Negara maupun
swasta, yang menyelenggarakan penelitian dan pengembangan kesehatan.
3. Peneliti adalah
setiap orang yang
bertugas melakukan penelitian
dan pengembangan kesehatan.
4. Penerapan hasil
penelitian dan pengembangan
kesehatan adalah setiap kegiatan untuk
memanfaatkan atau menggunakan
hasil penelitian dan pengembangan kesehatan bagi kepentingan
praktis.
5.
Menteri
adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang Kesehatan.
Bab II
Tujuan
Pasal 2
Penelitian
dan pengembangan kesehatan bertujuan untuk memberikan masukan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta pengetahuan lain yang
diperlukan untuk menunjang pembangunan
kesehatan dalam rangka
mewujudkan derajat kesehatan
masyarakat yang optimal.
Bab III
Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kesehatan
Pasal 3
Penelitian dan
pengembangan kesehatan dilaksanakan
oleh penyelenggara penelitian dan
pengembangan kesehatan.
Pasal
4
1.
Penelitian
dan pengembangan kesehatan dilaksanakan berdasarkan standar profesi penelitian
kesehatan.
2.
Ketentuan lebih
lanjut mengenai standar
profesi penelitian kesehatan ditetapkan oleh Menteri.
Pasal
5
1.
Penelitian dan
pengembangan kesehatan dapat
dilakukan terhadap manusia atau
mayat manusia, keluarga, masyarakat,
hewan, tumbuh tumbuhan, jasad
renik, atau lingkungan.
2. Pelaksanaan penelitian
dan pengembangan kesehatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan penerapannya
dilakukan dengan
memperhatikan norma yang
berlaku dalam masyarakat serta
upaya pelestarian lingkungan.
Pasal
6
1. Dalam rangka
pelaksanaan penelitian dan
pengembangan kesehatan,
penyelenggara penelitian dan pengembangan kesehatan dapat:
a. Mengirim spesimen
ke lembaga penelitian
dan pengembangan kesehatan
ke luar negeri
untuk penelitian dan
pengembangan lebih mendalam sepanjang hal tersebut tidak mampu
dilaksanakan di dalam negeri;
b. Memasukkan
spesimen dan/atau sarana penelitian dan pengembangan kesehatan dari luar
negeri untuk keperluan
penelitian dan pengembangan
kesehatan.
2. Syarat dan
tata cara pengiriman
spesimen ke atau
dari luar negeri ditetapkan oleh Menteri.
Pasal
7
Penelitian dan
pengembangan kesehatan dapat
diselenggarakan oleh lembaga asing, atau
melibatkan peneliti asing,
atau kerja sama
dengan lembaga asing yang
memenuhi persyaratan, dilakukan
atas dasar izin
berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang penelitian
bagi orang asing.
Bab IV Penelitian dan pengembangan kesehatan terhadap
Manusia
Pasal
8
1. Penelitian dan
pengembangan kesehatan terhadap
manusia hanya dapat dilakukan atas dasar persetujuan
tertulis dari manusia yang bersangkutan.
2. Persetujuan
tertulis dapat pula dilakukan oleh orang tua atau ahli warisnya apabila manusia
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1):
a.
Tidak
mampu melakukan tindakan hukum;
b.
Karena keadaan
kesehatan atau jasmaninya
sama sekali tidak memungkinkan dapat menyatakan
persetujuan secara tertulis;
c. Telah meninggal
dunia, dalam hal
jasadnya akan digunakan
sebagai obyek penelitian dan pengembangan kesehatan.
3. Persetujuan
tertulis bagi penelitian dan pengembangan kesehatan terhadap keluarga diberikan
oleh kepala keluarga
yang bersangkutan dan terhadap masyarakat dalam
wilayah tertentu oleh
Bupati/Walikotamadya Kepala
Daerah yang bersangkutan.
4. Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara mendapatkan persetujuan tertulis diatur oleh
Menteri.
Pasal
9
Pelaksanaan penelitian
dan pengembangan kesehatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 wajib dilakukan
dengan memperhatikan kesehatan
dan keselamatan jiwa manusia, keluarga dan masyarakat yang bersangkutan.
Pasal
10
Manusia, keluarga,
dan masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal
8 berhak mendapat informasi
terlebih dahulu dari
penyelenggara penelitian dan pengembangan kesehatan mengenai:
a.
Tujuan
penelitian dan pengembangan kesehatan serta penggunaan hasilnya;
b.
Jaminan
kerahasiaan tentang identitas dan data pribadi;
c.
Metode
yang digunakan;
d.
Risiko
yang mungkin timbul;
e. hal lain
yang perlu diketahui
oleh yang bersangkutan
dalam rangka penelitian dan
pengembangan kesehatan.
Pasal 11
Penyelenggara penelitian
dan pengembangan kesehatan
berkewajiban menjaga kerahasiaan
identitas dan data kesehatan pribadi atau keluarga atau masyarakat yang bersangkutan.
Pasal 12
Manusia, keluarga,
atau masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal
8 berhak sewaktu-waktu mengakhiri
atau menghentikan keterlibatannya dalam penelitian dan pengembangan kesehatan.
Pasal 13
Penelitian dan
pengembangan kesehatan terhadap:
a.
Anak-anak hanya
dapat dilakukan dalam
rangka peningkatan derajat kesehatan anak-anak;
b.
Wanita hamil
atau menyusui hanya
dapat dilakukan dalam
rangka pembenaran masalah kehamilan,
persalinan, atau peningkatan
derajat kesehatannya;
c. Penderita
penyakit jiwa atau lemah ingatan hanya dapat dilakukan dalam rangka
mengetahui sebab terjadinya
penyakit jiwa atau
lemah ingatan, pengobatan, atau
rehabilitasi sosialnya.
Pasal 14
1. Manusia, keluarga,
atau masyarakat berhak
atas ganti rugi
apabila pelaksanaan
penelitian dan pengembangan
kesehatan terhadapnya
mengakibatkan terganggunya kesehatan,
cacat atau kematian
yang terjadi karena kesalahan
atau kelalaian penyelenggara
penelitian dan pengembangan
kesehatan.
2.
Tuntutan ganti
rugi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 15
1. Penerapan hasil
penelitian dan pengembangan
kesehatan pada tubuh manusia
hanya dapat dilakukan
setelah sebelumnya diterapkan
pada hewan percobaan.
2. Pelaksanaan
penerapan hasil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dilaksanakan apabila
dapat dipertanggungjawabkan dari
segi kesehatan dan keselamatan
jiwa manusia.
3. Ketentuan lebih
lanjut mengenai tahapan
dan tata cara
penerapan hasil penelitian dan
pengembangan kesehatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan oleh Menteri setelah mendapat pertimbangan dari Ketua Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia.
Bab V Hasil
penelitian dan pengembangan kesehatan
Pasal 16
Penyelenggara
penelitian dan pengembangan kesehatan berhak sepenuhnya atas hasil penelitian
dan pengembangan kesehatan.
Pasal 17
Menteri memberikan
penghargaan kepada penyelenggara
penelitian dan pengembangan kesehatan
yang hasil penelitian
dan pengembangan kesehatannya
merupakan suatu temuan atau teknologi baru bagi
pembangunan kesehatan.
Bab VI
Pembinaan dan pengawasan
Pasal 18
1.
Menteri melakukan
pembinaan dan pengawasan
terhadap penyelenggara penelitian
dan pengembangan kesehatan.
2.
Pembinaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui:
a.
Bimbingan
dan penyuluhan;
b.
Penyediaan
jaringan informasi penelitian dan pengembangan kesehatan;
c.
Pemberian
bantuan tenaga ahli atau bentuk lainnya.
Bab VII Ketentuan
pidana
Pasal 19
Barang siapa
dengan sengaja melakukan
penelitian dan pengembangan kesehatan dan
penerapannya terhadap manusia, keluarga,
atau masyarakat tanpa memperhatikan
norma yang berlaku
dalam masyarakat serta
kesehatan dan keselamatan yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (2) dan
Pasal 9, dipidana
berdasarkan ketentuan Pasal
81 ayat (2)
Undang undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan.
Pasal 20
Berdasarkan
ketentuan Pasal 86 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, barang
siapa dengan sengaja
menyelenggarakan penelitian dan pengembangan kesehatan:
a.
Dengan
cara yang tidak sesuai dengan standar profesi penelitian kesehatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1);
b.
Tanpa
izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7;
c.
Tanpa persetujuan
tertulis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3);
d.
Tanpa
memberi informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10;
e.
Dipidana
denda paling banyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).
Bab VIII
Ketentuan penutup
Pasal 21
Dengan
berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka semua ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian dan pengembangan
kesehatan yang telah
ada masih tetap
berlaku sepanjangtidak bertentangan dan/atau belum diganti berdasarkan
Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 22
Peraturan
Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap
orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan
Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
(Anonim. 2006)
G. Tanggung Jawab Tuntutan dan Gugatan
Malpraktik Medis
Tanggung
jawab hukum dikenal dengan sebutan gugatan perdata dan/atau tuntutan
pidana.Sedangkan tanggung jawab berdasarkan etika profesi kita kenal dengan
tuntutan pertanggungjawaban dari majelis kode etik. (Sujiyatini & Dewi,
Nilda Synthia. 2011)
1.
Contractual liability
Tanggung
gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya akibat dari hubungan
kontraktual yang sudah disepakati.
2.
Vicarius liability
Vicarius liability atau respondeat superior ialah
tanggung gugat yang timbul atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan
yang ada dalam tanggung jawabnya (sub
ordinate),
3.
Liability in tort
Liability in tort adalah tanggung gugat atas
perbuatan melawan hukum (onrechtmatige
daad).
(Rismalinda.
2011)
A.
Penyelesaian
Hukum dalam Pelayanan Kesehatan/Kebidanan
1.
Penyelesaian
di luar pengadilan
Negoisasi
adalah proses upaya untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain, suatu proses
interaksi dan komunikasi yang dinamis dan beraneka ragam. Mediasi adalah proses
penyelesaian sengketa dengan perantaraan pihak ketiga (mediator), yakni pihak
yang memberi masukan kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka.
Konsiliasi prosesnya hampir serupa dengan mediasi, tetapi biasanya diatur
dengan undang-undang.Arbitrase yaitu penyelesaian sengketa melalui badan
arbitrase. Artinya, penyelesaianatau pemutusan sengketa oleh seorang hakim
berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati
keputusan yang diberikn oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih.
(Walyani,
Elisabeth Siwi & Endang, Purwoastuti. 2017)
2.
Penyelesaian
di dalam pengadilan
a.
KUH
Perdata yaitu pasal 1365, 1366, 1367, dan 1234
b.
KUH
Pidana yaitu pasal 356, 357, 358, 359 dan 360.
c.
Undang-undang
No.36 tahun 2009 tentang kesehatan, pasal 190, 191, 192, 193, 194, 195, 196,
197, 198, 199, 200, dan 201.
(Walyani,
Elizabeth Wili & Endang Purwoastuti. 2017)
B. Community
Standars and State Laws Regarding Indication Fors, Administration of, and The
Risks and Benefits of Prophylactic Bio-Tecnical Stretments and Screening Tests
Commonly Used During the Neonatal Periode
Dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan bagian keempat
mengenai : Teknologi dan produk teknologi
pasal 42
1. Teknologi dan
produk teknologi kesehatan diadakan, diteliti, diedarkan, dikembangkan, dan
dimanfaatkan bagi kesehatan masyarakat.
2. Teknologi
kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup segala metode dan alat
yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit, mendeteksi adanya penyakit,
meringankan penderitaan akibat penyakit, menyembuhkan, memperkecil komplikasi,
dan memulihkan kesehatan setelah sakit.
3. Ketentuan
mengenai teknologi dan produk teknologi kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus memenuhi standar yang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan.
Pasal 43
1. Pemerintah membentuk lembaga yang bertugas dan
berwenang melakukan penapisan, pengaturan, pemanfaatan, serta pengawasan
terhadap penggunaan teknologi dan produk teknologi.
2. Pembentukan lembaga sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 44
1. Dalam
mengembangkan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dapat dilakukan uji
coba teknologi atau produk teknologi terhadap manusia atau hewan.
2. Uji coba
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan jaminan tidak merugikan
manusia yang dijadikan uji coba.
3. Uji coba
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh orang yang berwenang dan
dengan persetujuan orang yang dijadikan uji coba.
4. Penelitian
terhadap hewan harus dijamin untuk melindungi kelestarian hewan tersebut serta
mencegah dampak buruk yang tidak langsung bagi kesehatan manusia.
5. Ketentuan lebih
lanjut mengenai pelaksanaan uji coba terhadap manusia sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 45
1. Setiap orang dilarang mengembangkan teknologi dan/atau produk teknologi yang dapat berpengaruh dan membawa risiko buruk terhadap kesehatan masyarakat.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
REFERENSI
Adrian,S. 2011. Hukum
Perizinan Dalam Sektor Pelayanan Publik. Sinar Grafika :Jakarta
Anonim.2011. Tenaga Kesehatan yang Berhubungan Langsung
dengan Pasien di Rumah Sakit.
Draf Rancangan Undang-undang
Kebidanan Kesra. 2016
Indar. 2009. Etika dan Hukum Kesehatan . Lembaga
Penerbitan Unhas. Makassar
Luti, I
dkk. 2012. Kebijakan Pemerintah Daerah Dalam Meningkatkan Sistem Rujukan Kesehatan Daerah Kepulauan Di Kabupaten Lingga
Provinsi Kepulauan Riau. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol.
01, No. 1.
Manuaba, I.B.G. 2001. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin
Obstetri Ginekologi dan Keluarga Berencana. EGC : Jakarta
Noer RI.2016. Karakteristik Ibu pada Penderita Abortus dan Tidak
Abortus di RS Dr. M. Djamil Padang Tahun 2011-2012.Jurnal
Kesehatan Andalas.
2016; 5(3).
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 38 tentang Izin
dan Penyelenggaraan Praktik Bidan. 2017
Ridwan, HR. 2011. Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, RajaGrafindo
Persada : Jakarta
Langganan:
Postingan (Atom)
Dr. Mardiana Ahmad: ETIKA KEBIDANAN
Dr. Mardiana Ahmad: ETIKA KEBIDANAN : BAB III ETIKA KEBIDANAN A. Konsep Dasar Etika Kebidanan B. Panduan Etika Kebidanan ...
-
BAB I KONSEP DASAR BIOETIK A. Konsep dasar bio-etika dan profesionalisme 1. Bio-Etika Secara harafiah, istilah bioetika...
-
BAB II HUMANIORA DALAM KEBIDANAN A. Pengertian Humaniora 1. Secara Umum Humaniora, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (...
-
BAB III ETIKA KEBIDANAN A. Konsep Dasar Etika Kebidanan B. Panduan Etika Kebidanan Panduan etika kebidanan mengacu pad...